Terkait dengan sabda Baginda Nabi Muhammad SAW ini, dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin Abdurra-him al-Mubarakfuri menjelaskan: Pertama, memandang kepada orang yang tinggi da-lam urusan agamanya maknanya adalah memandang kepada orang yang lebih banyak ilmu agamanya, amal shalihnya, sikap qanâ'ah-nya dan riyâdhah (pengen-dalian jiwa)-nya. Kedua, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam urusan dunianya maksudnya adalah melihat kepada orang yang lebih fakir dan lebih sedikit hartanya. Ketiga, yang dimaksud dengan memandang kepada orang yang lebih rendah dalam urusan agama adalah bahwa ia merasa cukup bahkan bangga dengan amal shalih yang telah ia lakukan. Keempat, yang dimaksud melihat kepada orang yang lebih tinggi dalam urusan dunianya adalah melihat kepada orang kaya yang selalu fokus mengejar kekayaan, diperbudak harapan dan angan-angan serta berlaku riya.
Al-Mubarakfuri lalu mengutip firman Allah SWT (yang artinya): ...supaya kalian tidak bersedih atas apa saja yang luput dari diri kalian dan tidak pula terlalu gembira dengan apa saja yang telah kalian peroleh.” (TQS al-Hadid [57]: 23)
Terkait dengan ayat di atas, Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya memberi-kan paparan berikut:
Janganlah kalian berduka cita atas rezeki yang luput dari diri kalian. Hal itu karena, jika kalian sudah tahu bahwa rezeki itu tak ada yang abadi, maka tidak layak kalian bersedih atas hilangnya rezeki itu dari tangan kalian. Ibn Mas'ud menu-turkan bahwa Nabi SAW. pernah bersabda, ”Salah seorang di antara kalian tidak akan merasakan nikmatnya iman hingga menya-dari bahwa apa saja yang menimpanya tidak mungkin keliru dan apa saja yang keliru tidak mungkin menimpanya.”
Maknanya, janganlah kalian berse-dih atas dunia yang hilang dari tangan kalian, karena itu berarti tak ditakdirkan untuk kalian. Sebab, jika memang ditak-dirkan milik kalian, tentu ia tak akan hilang dari tangan kalian.
Imam Ja'far ash-Shadiq ra. berkata, ”Wahai anak Adam, mengapa engkau berduka atas sesuatu yang tiada, semen-tara engkau tak bisa mencegahnya jika sesuatu itu hilang darimu? Mengapa pula engkau gembira atas sesuatu yang ada, sementara kematian tak akan membiarkan sesuatu itu tetap ada padamu?”
Kutipan hadits serta beberapa ko-mentar di atas pada dasarnya mengajari kita agar: Pertama, dalam urusan agama kita harus selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi dan lebih utama dari diri kita. Dengan itu, kita akan selalu merasa diri kita kurang dalam kualitas beragama maupun dalam kuantitas amal shalih kita. Dengan itu pula, kita akan senantiasa terdorong untuk terus mengejar segala kekurangan kita dalam beragama untuk menuju 'kesempurnaan' agama kita. Kedua, dalam urusan dunia kita selalu melihat kepada orang yang lebih rendah dari kita. Dengan itu, kita akan selalu banyak bersyukur atas apa yang kita miliki, tidak mudah berlecil hati dan berduka atas sedikitnya harta.
Sayangnya, banyak di antara kita yang justru bersikap sebaliknya: meman-dang 'ke bawah' dalam urusan agama, tetapi melihat 'ke atas' dalam urusan dunia. Akibatnya, dalam hal kualitas beragama dan kuantitas amal-amalnya, ia merasa cukup dan tak pernah merasa kekurangan. Sebaliknya, dalam urusan dunia, ia tak pernah merasa puas atas apa yang dia miliki dan terus terobsesi untuk mengejarnya lebih banyak lagi. Tak jarang, dengan itu ia dilalaikan oleh kesibukan mencari harta untuk kehidupan dunia yang fana dan semu ini, serta lupa untuk terus memperbanyak amal shalih demi bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi dan hakiki. Bagi orang yang seperti ini, alangkah baiknya merenungkan kata-kata seorang penyair yang dinukil Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashâ'ih al'-Ibâd, sebagai berikut:
Duhai yang tersibukkan duniaWa mâ tawfîqî illâ billâh. [] arief b. Iskandar
panjang anganmu tlah menipumu
Duhai yang selalu terpedaya
ajalmu makin mendekat padamu
Kematian itu datang tiba-tiba
dan kuburanlah akhir dari segala